Kali ini aku ingin cerita tentang perjuangan kami eh suamiku ding dalam mengobati penyakit hepatitis B yang dideritanya. Dua tahun lalu, di bulan Oktober juga sih, suamiku menjalani tes kesehatan pra operasi. Karena waktu itu dia akan menjalani operasi pengangkatan amandel (tonsilsektomi). Alhamdulillah operasi berjalan lancar. Pasca operasi aku bertanya kepada dokter yang menangani suamiku, apakah ada kemungkinan penyakit lain dari hasil tes pra operasi. Dokter tersebut menjawab bahwa Hbsag suamiku positif, berarti dia positif menderita penyakit hepatitis, hanya jenisnya belum tau. Dokter THT menyarankan suamiku dirujuk ke dokter sp.PD dan aku pun setuju. Setelah dirujuk suamiku menjalani tes darah ulang untuk mengetahui seberapa parah penyakit yang dideritanya. Tes tersebut diantaranya tes HBeAg, SGOT dan SGPT.
HBsAg merupakan antigen permukaan yang ditemukan pada virus hepatitis B / hepatitis B virus (HBV) yang memberikan arti adanya infeksi hepatitis B aktif. Jadi HBsAg suamiku positif karena ditemukan adanya virus hepatitis B dalam tubuhnya. Tes selanjutnya adalah HBeAg atau Hepatitis B e antigen (HBeAg) yaitu penanda-penanda (markers) yang bermanfaat untuk menentukan kemungkinan penularan virus oleh seseorang yang menderita infeksi virus hepatitis B kronis. Cek Laboratorium HBeAg sendiri di Solo gak cukup cuma sehari. Hasilnya baru jadi 3 hari setelahnya. Hal tersebut dikarenakan alat pengujiannya ada di Jakarta, jadi sample harus dikirim dulu ke Jakarta. Ya udah deh, sabar menanti.
Virus Hepatitis B |
Setelah H2C (harap harap cemas) ternyata HBeAg suamiku reaktif yang artinya virus hepatitis B aktif dan dapat menular ke orang lain. Saat itu juga aku dirujuk cek darah untuk mengetahui HBsAg ku. Tau gak rasanya seperti tersengat petir di cuaca yang terang benderang. Gak ada angin, gak ada ujan tiba-tiba suruh cek darah. Liat jarum suntik aja gue udah parno abis. Ingin lari kenceng ninggalin RS itu. Tapi suami maksa, jadi diambil darahnya sambil ditemani suami.
Dua jam setelah cek darah, hasilnya pun jadi. Alhamdulillah HBsAg ku negatif, artinya tidak ada virus hepatitis B di tubuhku. Horeee.. Eits tunggu dulu, setelah dokter tau hasil lab ku, dokter langsung menyuruhku vaksin hepatitis B saat itu juga. Haduuuh, ni dokter kagak berperasaan banget sih, baru aja disuntik, masak disuruh suntik lagi. Gimana rasanya coba. Demi kesehatanku dan bayi dalam rahimku, aku vaksin saat itu juga. Oiya, waktu itu aku sedang hamil jalan 4 bulan, masuk trimester dua jadi imunisasi hepatitis udah boleh dilakukan.
Lanjut setelah tes HBsAg dan HBeAg suamiku harus melakukan tes darah lagi buat mengetahui SGOT dan SGPT. SGOT (Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase)SGOT merupakan enzim hati yang terdapat di dalam sel parenkim hati. SGOT akan meningkat kadarnya di dalam darah jika terdapat kerusakan sel hati. SGOT tidak hanya diproduksi di hati tapi juga di otot jantung. Jadi SGOT juga dapat digunakan sebagai indikasi kerusakan otot jantung.
Sedangkan SGPT (Serum Glutamic Pyruvate Transaminase)merupakan suatu enzim yang terdapat di dalam sel hati. Karena itu, SGPT lah yang lebih menggambarkan fungsi hati seseorang. Ketika sel hati mengalami kerusakan akibat sesuatu baik itu gangguan virus atau gangguan lainnya, akan terjadi pengeluaran enzim SGPT dari dalam sel hati ke darah. Hal ini akan diketahui melalui pemeriksaan darah di laboratorium. Itu kenapa dokter selalu menganjurkan periksa SGPT untuk mengetahui kondisi fungsi hati seseorang.
SGOT dan SGPT suami tinggi sekali. Jauh lebih tinggi dari normal. Tepatnya saya lupa hehehe.. Tapi dokter bilang banyak kok pasien hepatitis B kronis yang bisa sembuh. Optimis deh. Obatnya juga ada bermacam-macam. Udah ditanggung bpjs lagi. Hepatitis sekarang udah jadi penyakit umum karena banyak orang Indonesia yang terkena penyakit ini. Gejalanya macam-macam, bahkan ada yang tanpa gejala sama sekali seperti yang dialami suamiku. Dia sama sekali tidak merasakan keanehan pada tubuhnya, tau-tau udah kronis aja nih penyakit liver. Dokter yang menangani suamiku juga bilang kalau banyak orang yang tidak sadar jika dirinya terserang penyakit hepatitis. Penyebaran yang sering tidak disadari yaitu melalui pisau cukur.
Obat hepatitis B ada berbagai macam, aku pun tak hafal. Tiap periksa suami selalu diberi dua macam obat, satu obat buat menekan pertumbuhan virus, obat yang lain berupa vitamin untuk kekebalan tubuh. Kalau pakai bpjs pernah dapet heplav, curcuma, leticol, dll. Banyak yang bilang jika temulawak mampu mengobati hepatitis. Memang sih temulawak bisa menekan pertumbuhan virus tapi tidak mampu menghilangkan virus. Habis minum temulawak biasanya SGOT dan SGPT nya turun bahkan sampai normal lagi.
Pada awalnya suami rajin banget kontrol ke dokter, sesuai jadwal yaitu satu bulan sekali. SGOT dan SGPT nya pun berangsur angsur turun. Tapi beberapa bulan kemudian menjadi tinggi lagi. Dokter bilang kondisinya belum stabil. Suamiku menjadi malas kontrol dan malas minum obat. Gimana gak males coba, tiap hari suruh minum obat. Sebulan sekali kontrol dengan antrian berjubel dan berjam jam ria. Padahal pengen main sama anak. Aku sendiri juga bingung, antara memaksa atau membiarkan. Akhirnya aku biarkan saja dia tidak kontrol sampai sekarang.
Nah, di sinilah letak kesalahanku. Minggu kemarin suamiku diopnam karena tipes. Dari situ aku sudah curiga pasti sgpt dan sgotnya naik, dan jelas penyakit hatinya juga berpengaruh. Walaupun sebenarnya ini adalah kesalahanku, tapi aku tetap marah-marah. Iya, aku memang tidak menjenguk apalagi merawat suamiku yang sedang diopnam (wah, istri durhaka nih) dan aku malah memarahi suamiku yang tidak bilang kalau dia punya hepatitis. Dengan sedikit memaksa (eh banyak ding) aku langsung menyuruh suamiku buat minta rujukan ke sp.pd serta melakukan pemeriksaan fungsi hati. Alhamdulillah, suamiku nurut buat ngikutin permintaanku. Dokter menyuruh tes sgpt dan sgot. Setelah tes, diketahui bahwa kadar enzim hatinya naik pesat 300an. Ini buruk, apalagi dokter sp.PD di sana nyaranin buat terapi interferon. ðŸ˜
Interferon adalah salah satu pengobatan hepatitis B yang diberikan melalui suntikan. Aku tahu juga dari browsing internet. Kemungkinan sembuh 50%, sekali suntik harganya 2,5 jt dan suamiku disarankan melakukan 58 x suntikan. Bukan hanya mahal, suntik interferon juga memiliki efek samping menurunnya daya tahan tubuh. Jadi tiap suntik kayak kena sakit flu parah gitu. Kalo suamiku sakit tiap minggu berarti aku gak bisa ngedate dong. Huaaa, tidaaak..
Opsi itu belum kami pilih.
Akhirnya kemarin misua balik lagi ke dokter langganannya di RS. Kasih Ibu dan dokter di sana juga gak nganjurin suntik interferon. Balik ke obat heplav sama curcuma lagi aja, cuma kali ini harus lebih telaten minumnya, biar si virus bener2 hilang.
Gimana keadaan suaminya sekarang mbak ?
BalasHapus